Jumat, 29 Mei 2009

SEKILAS GN.BROMO


Gunung Bromo (2.329 m dpl), adalah salah satu gunung dari beberapa gunung lainnya yang terhampar di kawasan Komplek Pegunungan Tengger, berdiri diareal Kaldera berdiameter 8-10 km yang dinding kalderanya mengelilingi laut pasir sangat terjal dengan kemiringan ± 60-80 derajat dan tinggi berkisar antara 200-600 meter. Daya tarik Gunung Bromo yang istimewa adalah kawah di tengah kawah dengan lautan pasirnya yang membentang luas di sekeliling kawah Bromo yang sampai saat ini masih terlihat mengepulkan asap putih setiap saat, manandakan Gunung ini masih aktif.


Menurut sejarah terbentuknya Gunung Bromo dan lautan pasir berawal dari dua gunung yang saling berimpitan satu sama lain. Gunung Tengger (4.000 m dpl) yang merupakan gunung terbesar dan tertinggi pada waktu itu. Kemudian terjadi letusan kecil, materi vulkanik terlempar ke tenggara sehingga membentuk lembah besar dan dalam sampai ke desa sapi kerep. Letusan dahsyat kemudian menciptakan kaldera dengan diameter lebih dari delapan kilometer. Karena dalamnya kaldera, materi vulkanik letusan lanjutan tertumpuk di dalam dan sekarang menjadi lautan pasir dan di duga dulu kala pernah terisi oleh air dan kemudian aktivitas lanjutan adalah munculnya lorong magma ditengah kaldera sehingga muncul gunung - gunung baru antara lain Lautan pasir, Gunung Widodaren, Gunung watangan, Gunung Kursi, Gunung Batok dan Gunung BromoMenurut sejarah terbentuknya Gunung Bromo dan lautan pasir berawal dari dua gunung yang saling berimpitan satu sama lain. Gunung Tengger (4.000 m dpl) yang merupakan gunung terbesar dan tertinggi pada waktu itu. Kemudian terjadi letusan kecil, materi vulkanik terlempar ke tenggara sehingga membentuk lembah besar dan dalam sampai ke desa sapi kerep. Letusan dahsyat kemudian menciptakan kaldera dengan diameter lebih dari delapan kilometer. Karena dalamnya kaldera, materi vulkanik letusan lanjutan tertumpuk di dalam dan sekarang menjadi lautan pasir dan di duga dulu kala pernah terisi oleh air dan kemudian aktivitas lanjutan adalah munculnya lorong magma ditengah kaldera sehingga muncul gunung - gunung baru antara lain Lautan pasir, Gunung Widodaren, Gunung watangan, Gunung Kursi, Gunung Batok dan Gunung Bromo.

Legenda Masyarakat :

Menurut legenda dijelaskan tentang asal usul Suku Tengger ini. Dahulu di pulau Jawa di perintah oleh Raja Brawijaya dari Majapahit yang mempunyai anak perempuan bernama Rara Anteng yang menikah dengan Joko Seger, keturunan Brahmana. Ketika terjadi pergolakan di pulau Jawa, sebagian masyarakat yang setia pada agama Hindu melarikan diri ke pulau Bali. Sebagian lainnya menarik diri dari dunia keramaian dan bermukim di sebuah dataran tinggi di kaki Gunung Bromo, dipimpin oleh Roro Anteng dan Joko Seger, jadilah mereka suku Tengger, kependekan dari AnTeng dan SeGer.

Komplek Pegunungan :

Gunung Bromo termasuk bagian salah satu gunung yang berada di Komplek Pegunungan Tengger. Pada hamparan pasir yang sangat luas (Laut Pasir) dengan gunung-gunung di tengahnya yaitu: G. Bromo (2.392 m dpl), G. Batok ( 2.440 m dpl), G. Widodaren (2.614 m dpl), G. Watangan (2.601 m dpl) dan G. kursi (2.581 m dpl). Dinding kaldera yang mengelilingi laut pasir sangat terjal dengan kemiringan ±60-80 derajat dan tinggi berkisar antara 200-600 meter. Di keliling kaldera Tengger terdapat beberapa gunung diantaranya adalah G. Penanjakan (2.770 m dpl.), G. Cemorolawang, G. Lingker (2.278m dpl.), G. Pundak Lembu (2.635 m dpl.), G Jantur (2.705 m dpl.),G.Ider-ider (2.527 m dpl.) serta G.Mungal (2.480 m dpl.). Sedangkan pada Komplek Pegunungan Jambangan terdapat G. Lanang (2.313 m dpl), G Ayek-ayek (2.819 m dpl), G. Panggonan Cilik (2.883 m dpl), G Keduwung (2.334 m dpl), G Jambangan (3.020 m dpl), G Widodaren (2.000 m dpl), G Kepolo (3.035 m dpl), G Malang (2.401 m dpl), dan G Semeru (3.676 m dpl).

Menuju Lokasi :

Dari Surabaya. Untuk menuju Gunung Bromo dari arah Pasuruan. Dari Surabaya kita naik bis menuju Probolinggo dan turun di Pasuruan yang membutuhkan watu 1,5 jam. Selanjutnya naik colt menuju Desa Tosari - Wonokitri.
Di Wonokitri kita dapat bermalam di hotel atau losmen atau dapat juga langsung meneruskan per-jalanan menuju Gunung Pananjakan atau masuk ke lautan pasir menuju puncak Gunung Bromo.
Bila dari arah Probolinggo, kita naik colt atau bis menuju Sukapura, kemudian kita terus ke Ngadisari. Dari Ngadisari naik kuda atau berjalan kaki menuju Cemoro lawang ± 3 km. Di Cemoro lawang kita dapat bermalam di hotel atau losmen. Besuk pagi kita dapat melanjutkan perjalanan ke kawah Gunung Bromo, yang dapat ditempuh dengan berjalan kaki atau naik kuda yang disewakan oleh masyarakat setempat.

Bila dari arah Malang kita bisa lewat Jemplang, Ngadas. Dari Malang naik minibus menuju ke Tumpang (18 Km) sekitar 30 menit. Dari Tumpang perjalanan kita lanjutkan dengan naik Jeep menuju ke Jemplang sekitar 1,5 jam perjalanan melewati Desa Gubuk Klakah dan Desa Ngadas. Disekitar perjalanan kita dapat menyaksikan pemandangan alam yang berupa kebun-kebun penduduk yang berada di lereng-lereng gunung dan hutan alam yang masih asli. Memasuki Desa Ngadas di sekitar jalan kita melewati hutan cemara yang tertata rapi. Kondisi jalan dari Tumpang menuju Jemplang sekarang sudah baik.

Dari Jemplang perjalanan kita teruskan menuju ke Gunung Bromo melewati jalan berbatu dan lautan pasir selama 1 jam perjalanan dengan Trekking.
Bila lewat Purwodadi, dari Kota Malang kita naik Bus atau minibus menuju ke Purwodadi selam 30 menit. Dari Purwodadi kita naik minibus menuju ke Desa Tosari, melewati Desa Nonggojajar selama 1,5 jam perjalanana. Dari Tosari kita teruskan menuju Wonokitri.

Menuju Kawah Gunung Bromo dapat didaki melalui tangga buatan (249 buah), dari sini akan terlihat kawah Bromo mengangah lebar dengan kepulan asap yang keluar dari dasarnya.

SEKILAS GN.GEDE

Gunung Gede merupakan sebuah gunung yang berada di pulau Jawa, Indonesia. Gunung Gede berada dalam ruang lingkup Taman Nasional Gede Pangarango, yang merupakan salah satu dari lima taman nasional yang pertama kali diumumkan di Indonesia pada tahun 1980. Terletak diantara tiga kabupaten yaitu Kabupaten Bogor, Cianjur dan Sukabumi, dengan ketinggian 1.000 - 3.000 m. dpl, dan berada pada lintang 106°51' - 107°02' BT dan 64°1' - 65°1 LS. Suhu rata-rata di puncak gunung Gede 18°c dan di malam hari suhu puncak berkisar 5°c, dengan curah hujan rata-rata 3.600 mm/tahun. Gerbang utama menuju gunung ini adalah dari Cibodas dan Cipanas.Gunung Gede mempunyai kawasan hutan Dipterokarp Bukit, hutan Dipterokarp Atas, hutan Montane, dan Hutan Ericaceous atau hutan gunung.
Gunung Gede mempunyai keadaan alam yang khas dan unik, hal ini menjadikan Gunung Gede sebagai salah satu laboratorium alam yang menarik minat para peneliti sejak lama.Tercatat pada tahun 1819, C.G.C. Reinwardt sebagai orang yang pertama yang mendaki Gunung Gede, kemudian disusul oleh F.W. Junghuhn (1839-1861), J.E. Teysmann (1839), A.R. Wallace (1861), S.H. Koorders (1890), M. Treub (1891), W.M. van Leeuen (1911); dan C.G.G.J. van Steenis (1920-1952) telah membuat koleksi tumbuhan sebagai dasar penyusunan buku The Mountain Flora of Java yang diterbitkan tahun 1972.Gunung Gede juga memiliki keanekaragaman ekosistem yang terdiri dari ekosistem sub-montana, montana, sub-alpin, danau, rawa, dan savana.Gunung Gede terkenal kaya akan berbagai jenis burung yaitu sebanyak 251 jenis dari 450 jenis yang terdapat di Pulau Jawa. Beberapa jenis di antaranya burung langka yaitu elang Jawa (Spizaetus bartelsi) dan burung hantu (Otus angelinae).Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango ditetapkan oleh UNESCO sebagai Cagar Biosfir pada tahun 1977, dan sebagai Sister Park dengan Taman Negara di Malaysia pada tahun 1995
Gudung Gede maupun kawasan Taman Nasional Gede Pangrango juga merupakan objek wisata alam yang menarik dan banyak dikunjungi oleh wisatawan baik domestik maupun internasional.Beberapa lokasi/obyek yang menarik untuk dikunjungi :
  • Telaga Biru. Danau kecil berukuran lima hektar (1.575 meter dpl.) terletak 1,5 km dari pintu masuk Cibodas. Danau ini selalu tampak biru diterpa sinar matahari, karena ditutupi oleh ganggang biru.
  • Air terjun Cibeureum. Air terjun yang mempunyai ketinggian sekitar 50 meter terletak sekitar 2,8 km dari Cibodas. Di sekitar air terjun tersebut dapat melihat sejenis lumut merah yang endemik di Jawa Barat.
  • Air Panas. Terletak sekitar 5,3 km atau 2 jam perjalanan dari Cibodas.
    Kandang Batu dan Kandang Badak. Untuk kegiatan berkemah dan pengamatan tumbuhan/satwa. Berada pada ketinggian 2.220 m. dpl dengan jarak 7,8 km atau 3,5 jam perjalanan dari Cibodas.
  • Puncak dan Kawah Gunung Gede. Panorama berupa pemandangan matahari terbenam/terbit, hamparan kota Cianjur-Sukabumi-Bogor terlihat dengan jelas, atraksi geologi yang menarik dan pengamatan tumbuhan khas sekitar kawah. Di puncak ini terdapat tiga kawah yang masih aktif dalam satu kompleks yaitu kawah Lanang, Ratu dan Wadon. Berada pada ketinggian 2.958 m. dpl dengan jarak 9,7 km atau 5 jam perjalanan dari Cibodas.
  • Alun-alun Suryakencana. Dataran seluas 50 hektar yang ditutupi hamparan bunga edelweiss. Berada pada ketinggian 2.750 m. dpl dengan jarak 11,8 km atau 6 jam perjalanan dari Cibodas

Untuk mencapai lokasi Taman Nasional Gede Pangrango bisa ditempuh melalui rute Jakarta-Bogor-Cibodas dengan waktu sekitar 2,5 jam (± 100 km) menggunakan mobil, atau Bandung-Cipanas-Cibodas dengan waktu 2 jam (± 89 km), dan Bogor-Salabintana dengan waktu 2 jam (52 km).

SEJARAH GN.TANGKUBAN PARAHU

Gunung tangkuban Perahu terletak sekitar 30 km di utara Kota Bandung. Gunung ini menjadi salah satu daerah tujuan wisata yang menarik di Jawa Barat. Lingkungan alamnya yang sejuk, dan sumber mata air panas di kaki-kaki gunungnya. Deretan kawah yang memanjang, menjadi daya tarik tersendiri. Legenda tentang terjadinya Gunung Tangkubanparahu sangat dikenal di Jawa Barat, disebut pula sebagai asal muasal terjadinya Talaga Bandung atau dongeng Sangkuriang. Legenda ini disusun dalam bentuk sastra lisan yang didalamnya mengandung lambang-lambang yang menginformasikan pengalaman manusia purba tentang kebaikan-kejahatan, perkawinan dan kesuburan, dosa,bencana,asal muasal, nasib manusia, tingkah laku dan tujuan hidup manusia serta menjadi alat pendidikan moral bagi masyarakat pendukung kebudayaan tersebut. Legenda Sangkuriang telah terkenal di akhir abad ke-15. Hal ini disebutkan dalam catatan perjalanan Pangeran Bujangga Manik, seorang pangeran muda kerajaan Sunda dari Istana Pakuan (Bogor sekarang), menjelajahi Pulau Jawa dengan berjalan kaki seorang diri. Catatan yang tertuang dalam lembaran lontar ini, sekarang tersimpan di Perpustakaan Bodleian, Oxford Inggris sejak tahun 1627. [More...] Ringkasan Cerita Legenda Sangkuriang Raja SUNGGING PERBANGKARA pergi berburu, di tengah hutan Sang Raja kencing dan tertampung dalam tempurung kelapa. Seekor, burung tembey babi hutan betina bernama WAYUNGYANG yang tengah bertapa ingin menjadi manusia meminum air kencing tadi. Wayungyang hamil, melahirkan seorang bayi cantik. Bayi cantik itu dibawa ke keraton ayahnya dan diberi nama DAYANG SUMBI alias RARASATI. banyak para raja yang meminangnya, tetapi seorang pun tidak ada yang diterima. Akhirnya para raja saling berperang di antara sesamanya. Dayang Sumbi pun atas permitaannya sendiri mengasingkan diri di sebuah bukit ditemani seekor anjing jantan yaitu si TUMANG.Ketika sedang asyik bertenun, TOROPONG (torak) yang tengah digunakan bertenun kain terjatuh ke bawah. Dayang Sumbi karena merasa malas, terlontar ucapan tanpa dipikir dulu, dia berjanji siapa pun yang mengambilkan torak yang terjatuh bila berjenis kelamin laki-laki, akan dijadikan suaminya. Si Tumang mengambilkan torak dan diberikan kepada Dayang Sumbi. Maka jadilah si Tumang suami Dayang Sumbi. Dayang Sumbi akhirnya melahirkan bayi laki-laki diberi nama SANGKURIANG. Ketika berburu di hutan Sangkuriang menyuruh si Tumang untuk memburu babi betina Wayungyang. Karena si Tumang tidak menurut, lalu dibunuhnya. Hati si Tumang oleh Sangkuriang diberikan kepada Dayang Sumbi, lalu dimasak dan dimakannya. Setelah Dayang Sumbi mengetahui bahwa yang dimakannya adalah hati si Tumang, kemarahannya pun memuncak serta merta kepala Sangkuriang dipukul dengan senduk sehingga luka. Sangkuriang diusir dari rumahnya,kemudian ia pergi mengembara mengelilingi dunia. Setelah sekian lama menuju ke arah Timur akhirnya sampailah di arah Barat lagi dan tanpa sadar telah sampai di tempat Dayang Sumbi, tempat ibunya berada. Sangkuriang tidak mengenal bahwa putri cantik yang ditemukannya adalah Dayang Sumbi. Terjalinlah kisah kasih di antara kedua insan itu. Tanpa sengaja Dayang Sumbi mengetahui bahwa Sangkuriang adalah puteranya, dengan tanda luka di kepalanya. Walau demikian Sangkuriang tetap memaksa untuk menikahinya. Dayang Sumbi meminta agar Sangkuriang membuat PERAHU dan TALAGA (danau) dalam waktu semalam dengan membendung sungai CITARUM. Sangkuriang menyanggupinya. Maka dibuatlah PERAHU dari sebuah pohon yang tumbuh di arah TIMUR, tunggul/pokok pohon itu berubah menjadi gunung BUKIT TUNGGUL, rantingnya ditumpukkan di sebelah BARAT dan mejadi gunung BURANGRANG Ketika bendungan hampir selesai, Dayang Sumbi memohon kepada Hyang Maha Gaib agar maksud Sangkuriang tidak terwujud. Dayang Sumbi menebarkan irisan BOEH RARANG (kain putih hasil tenunannya), sehingga ketika itu pula fajar pun terbit. Sangkuriang menjadi gusar, dipuncak kemarahannya, bendungan yang berada di SANGHYANG TIKORO dijebolnya, sumbat aliran sungai Citarum dilemparkannya ke arah timur dan menjelma menjadi Gunung MANGLAYANG. Air Talaga Bandung pun menjadi surut kembali. Perahu yang dikerjakan dengan bersusah payah ditendangnya ke arah utara dan berubah wujud menjadi GUNUNG TANGKUBANPARAHU. Sangkuriang pun mengejar Dayang Sumbi yang mendadak menghilang di GUNUNG PUTRI dan berubah menjadi setangkai BUNGA JAKSI. Adapun Sangkuriang setelah sampai di sebuah tempat yang disebut dengan UJUNGBERUNG akhirnya menghilang ke alam gaib (NGAHIYANG). (Hidayat Suryalaga dalam Sunda.Net.Com – diakses tanggal 18 Mei 2007) Pada versi lain diceritakan bahwa sisa kayu yang ditebang untuk dijadikan perahu oleh Sangkuriang berubah menjadi Gunung Bukit Tunggul,s ebelah timur Gunung Tangkuban Parahu (Tunggul, Bahasa Sunda: yang berarti pangkal kayu), sementara daun-daunnya menjadi Gunung Burangrang (berasal dari Bahasa Sunda yang berarti berguguran),sebelah barat Gunung Tangkuban Parahu. Sementara Dayang Sumbi diceritakan dikejar Sangkuriang hingga akhirnya ia terjun ke kawah Gunung Tangkuban Perahu, sehingga kawahnya disebut Kawah ratu, versi yang lebih tragis, Dayang Sumbi bunuh diri dengan menggunakan kujang. Arti Legenda Sangkuriang bagi Masyarakat Sunda Dulu dan SekarangCerita Sangkuriang adalah legenda yang asalnya disajikan sebagai 125 cerita pantun. Di Jawa Barat cerita pantun umumnya menceritakan tentang putra-putri kerajaan. Dalam cerita pantun memang sering didongengkan hal-hal yang tidak masuk akal. Namun sebenarnya hal tersebut adalah suatu perlambang, bahkan mungkin suatu sindiran. Kebiasaan para pangeran yang bertualang cinta ke daerah-daerah sekitar kerajaan, disindir oleh penyair pantun dengan metafora buang air kecil sembarangan . Rakyat kecil digambarkan sebagai binatang, seperti babi hutan Wayungyang atau anjing Si Tumang.Disisi lain sang penyair dalam cerita ini, melaporkan peristiwa geologis yang terjadi sekitar 125000 tahun yang lalu. Suatu catatan dan hasil pengamatan luar biasa. Letusan gunung api dahsyat, mengalirnya produk letusan berupa lahar yang kemudian menyumbat Sungai Citarum, digambarkan dengan baik. Sang penyair melaporkan peristiwa alam dan sekaligus menyindir para bangsawan dalam sajian cerita pantun yang memikat. Peristiwa alam ini disaksikan manusia Bandung Purba jaman dulu. Mungkin dari sinilah awal dari kegiatan wisata yang pertama kali mereka lakukan.Jadi, jika kita rangkumkan nilai-nilai yang terkandung dalam Cerita Sangkuriang ketika itu adalah : kritik sosial pujangga terhadap kebiasaan para keturunan raja bertualang cinta, nilai pengetahuan masyarakat purba tentang kejadian alam waktu itu.Bagi masyarakat Sunda zaman sekarang Cerita Sangkuriang merupakan cerita yang mencerminkan nilai–nilai kearifan pandangan hidup masyarakat Sunda. Kearifan yang dibungkus dengan cerita legenda ini dapat menjadi acuan hidup bagi siapa pun dalam melayari kehidupannya baik secara manusia lahiriah (fisik) maupun manusia transcendental (ruhi).Berikut saya sajikan ringkasan alur legenda dikaitkan dengan nilai-nilai kearifan sunda yang terkandung di dalamnya menurut seorang budayawan sunda, Hidayat Suryalaga.Legenda atau Sasakala Gunung Tangkubanparahu dimaksudkan sebagai cahaya pencerahan (= Sungging Perbangkara) bagi manusia yang masih bimbang akan keberadaan dirinya dan berkeinginan untuk menemukan jati diri kemanusiaannya(Babi Wayungyang). Hasil yang diperoleh dari pencariannya ini akan melahirkan kata hati (nurani) sebagai kebenaran sejati (= Danghyang Sumbi, Rarasati); tetapi bila tidak disertai dengan kehati-hatian dan kesadaran penuh/eling (= taropong), maka dirinya akan dikuasai dan digagahi oleh rasa kebimbangan yang terus menerus (= digagahi si Tumang) dan akan melahirkan ego-ego yang egoistis, yaitu jiwa yang belum tercerahkan (= Sangkuriang). Ketika Sang Nurani termakan lagi oleh kewaswasan (= Danghyang Sumbi memakan hati si Tumang) maka hilanglah kesadaran yang hakiki. Rasa menyesal yang dialami Sang Nurani dilampiaskan dengan dipukulnya kesombongan rasio Sang Ego (= kepala Sangkuriang dipukul). Tentu saja kesombongannya pula yang mempengaruhi Sang Ego untuk menjauhi dan meninggalkan Sang Nurani. Keangkuhan sang ego yang telah lelah mencari ilmu dengan mengelilingi seantero jagat, ternyata kembali ke titik awal kehidupannya. Akhirnya menemukan Sang Nurani yang secara sadar atau pun tidak tetap dicarinya (= Pertemuan Sangkuriang dengan Danghyang Sumbi). Walau demikian ternyata penyatuan antara Sang Ego (= Sangkuriang) dengan Sang Nurani yang tercerahkan (= Danghyang Sumbi), tidak semudah yang diperkirakan oleh Sang Ego. Berbekal ilmu pengetahuan yang telah dikuasainya Sang Ego (= Sangkuriang) harus mampu membuat suatu kehidupan sosial yang dilandasi kasih sayang, interdependency – silih asih-asah dan silih asuh yang humanis harmonis, yaitu satu telaga kehidupan sosial (= Talaga Bandung) yang berasal dari kumpulan manusia yang bermacam corak ragam perangainya (= Citarum). Keutuhan jatidirinya pun harus dibentuk pula oleh Sang Ego sendiri(pembuatanperahu). Keberadaan Sang Ego itu pun tidak terlepas dari sejarah dirinya, ada pokok yang menjadi asal muasalnya (= Bukit Tunggul, pohon sajaratun) yang berasal sejak dari awal keberadaannya (= Timur, tempat awal terbit kehidupan) dan Sang Ego pun pada akhirnya akan mempunyai keturunan yang terwujud dalam masyarakat yad. dan semuanya berakhir ditelan masa menjadi setumpuk tulang-belulang (= gunung Burangrang). Betapa mengenaskannya, bila ternyata harapan untuk bersatunya Sang Ego dengan Sang Nurani yang tercerahkan ( = hampir terjadinya perkawinan antara Sangkuriang dengan Danghyang Sumbi), gagal karena keburu hadir sang titik akhir, akhir hayat dikandung badan (= Bo’eh rarang = kain kafan). Akhirnya suratan takdir yang menimpa Sang Ego tidak lain hanyalah rasa menyesal yang teramat sangat dan marah kepada “dirinya”, maka ditendangnya keegoisan dirinya jadilah seonggok manusia yang tengah tertelungkup meratapi kemalangan yang menimpa dirinya (= Gunung Tangkubanparahu). Walau demikian lantaran masih merasa penasaran dikejarnya terus Sang Nurani yang tercerahkan (= Danghyang Sumbi) dengan harapan dapat luluh bersatu antara Sang Ego dengan Sang Nurani, tetapi ternyata Sang Nurani yang tercerahkan kini hanya menampakkan diri menjadi saksi atas perilaku yang pernah terjadi dan dialami Sang Ego ( = bunga Jaksi). Akhir kisah dari Sang Ego (=Sangkuriang) yaitu datangnya kesadaran dengan berakhirnya kepongahan hawa nafsunya (=Ujungberung); dengan kesadarannya pula, dicabut sumbat dominasi keangkuhan (= gunung Manglayang), melalui proses berkomunikasi yang santun dengan siapa pun (= Sanghyang Tikoro =tenggorokan; B.Sunda: Hade ku omong goreng ku omong) serta memperhatikan dan menjaga dengan seksama makanan yang masuk ke dalam lambungnya yaitu makanan yang halal dan bersih (=Sanghyang Tikoro = kerongkongan). (Hidayat Suryalaga. Peran Sangkuriang dan Danghyang Sumbi dalam Legenda Tangkuban Parahu, SundaNet.Com – diakses tanggal 18 Mei 2007).
sumber : wikipedia indonesia
oleh : Hamdan S.H